Akuntansi
Internasional
Nama : Bowo Mujur
Npm
: 211211529
Kelas : 4eb04
Pertanyaan :
1. Sebelum
krisis moneter pada tahun 1998 di Indonesia, sebuah perusahaan memiliki saham
Rp 10.000.000 dengan nilai kurs U$ dolar 2300. Pada tahun 2015 perusahaan ingin
menjual sahamnya dengan nilai kurs U$ dolar sebesar 12.000.
Apakah transaksi ini boleh
ditranslasikan dengan nilai kurs tahun 2015?
Jawaban :
Transaksi
ini tidak boleh ditranslasikan dengan nilai kurs tahun 2015.
Sesuai
dengan PSAK no.10 tentang transaksi dalam
mata uang asing disebutkan bahwa
transaksi dalam mata uang asing harus dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya
transaksi. PSAK mengacu pada The
monetary-nonmonetary method,akun-akun non moneter (aktiva tetap, investasi jangka panjang
dan persediaan) ditranslasikan
dengan menggunakan kurs historis.
Jadi,
transaksi ini tetap ditranslasikan dengan nilai kurs historis pada saat
transaksi terjadi yaitu
sebesar Rp 2300
“TRANSFER
PRICING DALAM PERPAJAKAN"
A.
MASALAH TRANSFER PRICING DALAM PERPAJAKAN
Pertumbuhan kegiatan ekonomi
internasional yang berkembang pesat turut memacu perkembangan korporasi
multinasional (multinational company). Kegiatan korporasi multinasional sebagai
group-group perusahaan telah banyak ditemukan dalam negara berkembang, sehingga
menjadi unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan konsep dan strategi
yang lebih luas.
Ada beberapa alasan utama yang
mendorong munculnya korporasi multinasional, yaitu keinginan dan tujuan untuk
memperluas pasar, untuk mencari sumber bahan baku, untuk mencari teknologi
baru, untuk mencapai efisiensi, untuk menghindari peraturan atau kebijakan
pemerintah, dan diversifikasi. Namun demikian, setidaknya kita bisa mengidentifikasikan
adanya 3 (tiga) permasalahan yang dihadapi oleh korporasi multinasional, yaitu
(i) perbedaan budaya (cultural differences), (ii) transfer pricing, dan
(iii) nilai
tukar mata uang (exchange rate).
Apakah yang dimaksud dengan transfer
pricing itu? Transfer pricing (harga transfer) merupakan sebutan
atau istilah yang umum digunakan untuk penentuan harga atas berbagai transaksi
antar anggota group korporasi multinasional. Transfer pricing dapat ditentukan
berbeda dengan harga wajar atau harga yang berlaku di pasaran bebas, namun
dapat juga ditentukan lebih tinggi atau bahkan lebih rendah. Transfer
pricing ini merupakan isu klasik dalam bidang perpajakan, khususnya
menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional.
John Neighbour menyatakan bahwa transfer pricing pada awalnya hanya
merupakan isu utama bagi administrasi perpajakan dan ahli perpajakan saja,
tetapi pada masa sekarang ini transfer pricing telah menjadi pembicaraan
para politisi, ahli ekonomi dan juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat
menyangkut kewajiban pembayaran pajak atas aktivitas bisnis korporasi
multinasional.
Survei yang dilakukan oleh Ernst and
Young International pada tahun 1995 menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden
mengindikasikan transfer pricing sebagai masalah utama dalam perpajakan
yang dihadapi oleh korporasi multinasional. Responden tersebut terdiri dari
korporasi multinasional di 8 (delapan) Negara termasuk Kanada, Amerika Serikat,
Jepang dan Inggris.
Sementara itu, penelitian tim UNTC
PBB yang diketuai oleh Silvain Plasschaert yang dinyatakan kembali oleh Gunadi
(1999), disebutkan bahwa motivasi transfer pricing di Indonesia terkait
dengan beberapa hal antara lain:
1. Pengurangan
objek pajak, terutama pajak penghasilan;
2. Pelonggaran
pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri;
3. Penurunan
pengaruh depresiasi Rupiah;
4. Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi
terhadap saingan impor;
5.
Mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha;
6. Mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan
karyawan dan kepedulian lingkungan;
7. Memperkecil akibat pembatasan dan risiko bisnis di luar negeri.
Dari penjelasan di atas terlihat
bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing dapat dipicu oleh alasan pajak
(tax motive) ataupun alasan bukan pajak (non-tax motive). Beberapa transaksi
yang terjadi antar anggota group korporasi multinasional dapat dikategorikan
dalam beberapa transaksi, antara lain seperti penjualan barang dan jasa, lisensi,
royalti, paten dan know-how, penjaminan utang, serta penjualan komponen untuk
kegiatan produksi. Transaksi-transaksi yang terjadi antar unit bisnis group korporasi
multinasional hampir selalu merupakan cross border transaction yang menyebabkan
otoritas pajak menduganya sebagai salah satu bentuk pengalihan (shifting) beban
pajak dari suatu Negara yang mempunyai tarif tinggi (high tax countries) ke
Negara lainnya yang mempunyai tarif pajak lebih rendah (low tax countries).
Untuk menghindari praktik
penyalahgunaan transfer pricing oleh korporasi multinasional, Undang-Undang No.
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1983 memberikan
kewenangan kepada otoritas pajak untuk menentukan kembali harga wajar transaksi
antar pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (associated
enterprises/related parties) dan mewajibkan Wajib Pajak yang mempunyai
transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa untuk membuat
perjanjian dengan Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk Advance Pricing Agreement/APA
(kesepakatan harga transfer) mengenai harga wajar produk dalam transaksi yang
dilakukan antar mereka.
Menurut sejumlah literatur, transfer
pricing merupakan suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar
divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan
biaya divisi pembeli (buying division). Tujuan utama dari kegiatan ini adalah
untuk mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan. Kunci utama keberhasilan
transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi karena adanya hubungan
istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu
perusahaan dengan perusahaan lain. Hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan
satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa. Hubungan
istimewa ini dapat mengakibatkan kekurangwajaran pelaporan, sebagai akibat
pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan biaya pada suatu transaksi dari
suatu pihak ke pihak lainnya. Jadi secara umum transaksi antara pihak-pihak
yang memiliki hubungan istimewa tersebut dikenal dengan transfer pricing. Transfer
pricing sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk meminimalkan
jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antardivisi.
Perusahaan multinasional cenderung merelokasi penghasilan globalnya pada low
tax country dan menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada high
tax country. Artinya, ada pergeseran kewajiban perpajakan dari Negara-negara yang
memiliki tarif pajak yang tinggi ke Negara yang menerapkan pajak rendah. Disinilah
terlihat praktik transfer pricing tersebut yang mengakibatkan potensi penerimaan
suatu Negara khususnya yang berasal dari penerimaan pajak akan berkurang.
Sementara dari sisi bisnis, perusahaan akan cenderung berupaya meminimalkan
biaya-biaya termasuk efisiensi dalam hal pembayaran pajak perusahaan. Bagi
perusahaan multinasional, transfer pricing merupakan strategi yang efektif
untuk memenangkan persaingan dengan sumber daya yang terbatas. Jika transfer
pricing dilakukan antar perusahaan lokal (dalam negeri) maka hal ini tidak menjadi
persoalan, karena pemerintah tetap akan memperoleh pajak dari salah satu perusahaan
yang diuntungkan. Yang menjadi masalah adalah jika transfer pricing dilakukan
oleh perusahaan asing dengan perusahaan lokal. Jika hal ini terjadi maka akan
sangat berbahaya.
Perusahaan lokal yang menjadi
subsidiari dari perusahaan asing akan “dikorbankan”. Artinya, perusahaan lokal
itu sengaja dibuat merugi, padahal sebenarnya perusahaan lokal tersebut sedang
tidak merugi. Tujuannya tentu untuk menghindari pembayaran pajak oleh kedua
perusahaan tersebut. Kasus ini sering terjadi pada industri batu bara. Jenis
tambang itu merupakan incaran perusahaan tambang multinasional. Tidak jarang perusahaan
asing yang mendekati perusahaan tambang batu bara lokal. Dari sinilah akan
timbul negosiasi harga. Setelah itu yang terjadi justru praktik transfer
pricing. Jika batu bara banyak dibeli oleh perusahaan asing, maka tidak mungkin
perusahaan lokal itu akan merugi. Jika ada dua perusahaan yang berkonspirasi
untuk merugikan suatu perusahaan, hal ini sudah pasti transfer pricing.
Untuk mengatasi masalah mengenai
transfer pricing ini, Departemen Keuangan harus memiliki auditor yang handal
untuk menyelidiki keuangan suatu perusahaan. Untuk masalah batu bara,
sebenarnya Indonesia memiliki Indonesia Coal Index (ICI). ICI dapat digunakan
untuk mengukur kewajaran harga batu bara. ICI merupakan indeks harga batu bara
yang dibuat di Indonesia melalui berbagai sumber. Maka sebenarnya tidak ada
alasan bagi Pemerintah untuk menghindar dari penyelidikan dugaan transfer pricing.
Dengan melihat kasus Adaro, Negara diperkirakan rugi triliunan Rupiah akibat hal
ini. Negara kehilangan pajak penghasilan yang seharusnya disetor oleh Adaro. Negara
tidak memperoleh PPh 30% dan royalty 13,5%. Padahal untuk setiap USD 10 selisih
harga dalam praktik transfer pricing, tiap tahun kerugian Negara dapat mencapai
Rp. 400 miliar.
Saat ini transfer pricing diatur
dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. Dalam Pasal 18
ayat (3) diatur mengenai kewenangan Ditjen Pajak untuk menghitung kembali suatu
transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dalam Pasal 18 ayat (3) (a) diatur bahwa
“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan
bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga
transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi
pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut
berakhir”. Penjelasan pasal ini juga menyatakan bahwa “kesepakatan harga
transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak
dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang
dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related
parties) dengan Wajib Pajak tersebut”.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk
mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan
multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak
tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang
dihasilkan, jumlah royalty, dan lain-lain yang tergantung pada kesepakatan.
Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan
penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi terhadap harga jual
dan keuntungan produk yang dijual oleh wajib pajak kepada perusahaan dalam suatu
group yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara
Direktorat Jenderal Pajak dengan wajib pajak. APA dapat juga bersifat
bilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan
otoritas perpajakan Negara lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di
wilayah yurisdiksinya.
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh
memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan hubungan istimewa dan
penanganan transfer pricing harus memenuhi kedua unsur, yaitu adanya kewenangan
Direktorat Jenderal Pajak serta memenuhi definisi hubungan istimewa. Pasal 18
ayat (4) Undang-Undang PPh mengatur hubungan istimewa dianggap ada apabila:
1. Wajib
Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
pada Wajib Pajak lain;
2. Wajib
Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah pengusaan yang sama baik secara langsung ataupun tidak langsung; atau
3. Terdapat
hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.
Pengungkapan kasus transfer pricing
saat ini sedang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Beberapa
perusahaan yang dijadikan contoh antara lain adalah PT Adaro, PT Arutmin, PT
Kaltim, Asian Agri dan lain-lain. Bahkan Asian Agri sudah dilanjutkan ke
penyidikan, karena diduga terlibat tindak pidana perpajakan. Sehubungan dengan
penyidikan tersebut dapat dipertanyakan apakah praktik transfer pricing
merupakan suatu upaya penghindaran pajak untuk mencari penghematan pajak secara
legal atau sudah merupakan penggelapan pajak untuk meminimalisir pajak secara
ilegal.
Sebagai contoh praktik transfer
pricing, jika PT A mengekspor produk dengan harga pokok dan biaya lainnya
US$100 ke XY di Negara PQ dengan harga US$200, atas laba US$100 dibayar PPh di
Indonesia sebesar US$30. Namun jika dijual ke perusahaan afiliasi SQ di
Singapura dengan harga transfer pricing sebesar US$120 dan kemudian SQ menjual
kepada XY dengan harga US$200. Maka, atas laba PT A sebesar US$20 dan QS
sebesar US$80 akan dibayar pajak sejumlah US$22 (di Indonesia US$6, dan di Singapura
US$16). Dengan chanelling ke Singapura, dari laba global US$100 sudah didapat
penghematan pajak sebesar US$8. Kalau SQ menjual ke perusahaan afiliasinya HK
di HongKong (yang mengenakan pajak korporasi sebesar US$16) dengan harga
US$150, maka atas laba di Indonesia US$20, di Singapura US$30 dan di HongKong
US$50 akan dibayar PPh sebesar US$20 (PT A membayar US$6, SQ membayar US$6, dan
HK membayar US$8). Dengan tiga tahap penjualan ini, terdapat penghematan pajak
sebesar US$10. Jadi, semakin rendah tarif pajak Negara tempat kedudukan
perusahaan trading afiliasi yang dimanfaatkan dalam mata rantai perdagangan,
semakin besar pula penghematan pajak dari praktik transfer pricing ini. Dalam
buku Multinational Corporations, Transfer Prices and Taxes: Evidences from US Petroleum
Industry (1990), Bernard & Weiner menyatakan bahwa, kecuali dilarang dalam
undang-undang, transfer pricing dapat digunakan untuk mengatur jumlah laba dari
beberapa perusahaan dalam satu group yang berada di beberapa wilayah yurisdiksi
perpajakan. Hal ini menunjukan secara hukum, jika tidak dinyatakan secara tegas
dalam undang-undang bahwa transfer pricing merupakan tindak pidana pajak, maka
menjadi sulit untuk “mengkriminalkan” praktik transfer pricing. Pendapat ini sepertinya
didukung oleh adanya penghentian penyelidikan PT Adaro yang menurut Media
Indonesia (12 February 2008) dihentikan karena tidak ada masalah dan royalty serta
“semuanya” telah dibayar. Maka tampak bahwa atas transfer pricing lebih ditempuh
solusi administratif daripada pidana. Solusi ini juga dianut oleh Pasal 18 ayat
(3) Undang-Undang PPh jo. SE 04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus- Kasus
Transfer Pricing. Dari Surat Edaran ini dapat dikemukakan bahwa transfer pricing
dapat terjadi antara wajib pajak dalam negeri atau antara wajib pajak dalam negeri
dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di tax haven countries (Negara
yang tidak memungut pajak atau yang memungut pajak lebih rendah dari Indonesia).
Terhadap transaksi antara wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa, undang-undang
perpajakan Indonesia menganut asas materiil (substance over form rule).
B. ASPEK
PERPAJAKAN DALAM PRAKTIK TRANSFER PRICING
1.
Metode Transfer Pricing
Beberapa metode transfer pricing
yang sering digunakan oleh perusahaan konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi
adalah sebagai berikut:
a. Harga
transfer dasar biaya (cost based transfer pricing)
Perusahaan
yang menggunakan metode transfer ini menetapkan harga transfer atas biaya
variabel dan tetap, yang bisa dalam 3 (tiga) pemilihan bentuk, yaitu biaya penuh
(full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup), dan gabungan
antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
b. Harga
transfer atas dasar harga pasar (market basis transfer pricing)
Apabila ada
suatu pasar yang sempurna, metode ini merupakan ukuran yang paling memadai,
karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang
terkadang menjadi kendala dalam menggunakan metode transfer pricing ini.
c. Harga
transfer negosiasi (negotiated transfer prices)
Dalam
ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan
yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer
yang diinginkan. Harga transfer negosiasi mencerminkan perspektif kontrol
abilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban, karena setiap divisi
yang berkepentingan tersebut pada akhirnya akan bertanggungjawab atas harga
transfer yang dinegosiasikan.
2.
Transfer Pricing Pada Perusahaan Multinasional
Ada dua tujuan transfer pricing yang
ingin dicapai oleh perusahaan multinasional, yaitu:
a.
Performance evaluation
Salah satu
ukuran yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk menilai kinerjanya adalah
menghitung berapa tingkat ROI-nya atau return on investment. Terkadang tingkat
ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya dalam satu perusahaan yang sama
berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, divisi penjual menginginkan harga
transfer yang tinggi yang akan meningkatkan income, yang secara otomatis juga
akan meningkatkan ROI-nya. Namun di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga
transfer yang rendah yang nantinya berakibat pada peningkatan income, yang
berarti juga peningkatan dalam ROI. Oleh karena itu dalam hal ini induk
perusahaan akan sangat berkepentingan dalam penentuan harga transfer.
b. Optimal
determination of taxes
Tarif pajak
antar satu Negara dengan Negara yang lain berbeda. Perbedaan ini disebabkan
oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang berlaku dalam Negara
tersebut. Sebagai contoh di Afrika, karena tingkat investasi rendah, tarif
pajak yang berlaku di Negara itu juga rendah. Akan tetapi jika kita bandingkan
dengan Amerika, tidak mungkin tarif pajak yang diberlakukan di Negara tersebut
sama dengan di Afrika. Hal ini jelas karena di Negara maju seperti Amerika
tingkat investasi sangat tinggi yang dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan
badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar inilah tarif pajak yang
ditetapkan di Negara tersebut tinggi.
3.
Transfer Pricing Atas Royalti
Perkembangan ekonomi global dan
adanya persaingan internasional membuat suatu perusahaan harus melakukan
berbagai upaya untuk menguasai pasar dan mendekatkan diri dengan konsumen yang
berada di berbagai Negara. Perkembangan tersebut mengakibatkan banyak
perusahaan di berbagai Negara mengubah konsep bisnisnya menjadi perusahaan
multinasional. Dalam konsep perusahaan multinasional ini, kontrol yang dimiliki
oleh perusahaan induk terhadap anak perusahaan di berbagai Negara seringkali
menyebabkan terjadinya transaksi internasional, yaitu transfer pricing.
Transaksi transfer pricing dapat berupa transfer harga atas barang, jasa dan
harta tidak berwujud. Transaksi antar perusahaan yang memiliki hubungan
istimewa seringkali menimbulkan ketidakwajaran harga transfer. Hal ini
dilakukan sebagai upaya memonopoli pasar global sebagai strategi bisnis ataupun
untuk mengurangi total beban pajak global yang harus ditanggung perusahaan
akibat transaksi lintas Negara.
Otoritas pajak di banyak Negara
menggunakan metode perbandingan harga untuk menentukan harga transfer yang
wajar dalam perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Hal ini terutama untuk
mengurangi potential loss pada penerimaan pajak yang diperoleh, hanya saja
dalam praktiknya terjadi banyak permasalahan yang muncul atas perbandingan
harga. Salah satu permasalahan yang timbul adalah sulitnya mencari perusahaan
pembanding. Kesulitan menjadi bertambah ketika harga yang diperbandingkan
adalah harga atas transfer royalti. Seringkali harta yang tidak berwujud tidak
mempunyai karakteristik yang sama atau identik di setiap produsen dan
dimungkinkan adanya perbedaan biaya untuk menghasilkan royalti tersebut. Karakteristik
yang berbeda-beda dari harga royalti dapat mengakibatkan kesalahan dalam
penentuan koreksi harga yang dilakukan oleh otoritas pajak, yang pada akhirnya
akan menimbulkan kerugian bagi wajib pajak ataupun otoritas pajak di suatu
Negara. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang timbul, maka penting dilakukan
pengaturan yang baik dalam Undang Undang Perpajakan untuk memberikan kepastian
hukum atas transaksi transfer pricing royalti ataupun untuk mengurangi biaya
yang harus dikeluarkan dalam memeriksa dan mencari harga pasar wajar pembanding
atas royalti.
Indonesia sendiri saat ini belum
mengatur secara pasti atau khusus atas transaksi transfer pricing. Peraturan
perundang-undangan yang ada hanya mengatur mengenai hubungan istimewa dan
penentuan harga pasar wajar apabila terjadi transaksi yang di dalamnya
terindikasi ada hubungan istimewa, tanpa mengatur secara rinci pencegahan atau
penyelesaian yang dapat digunakan untuk transfer pricing atas
Pertanyaan
:
Perusahaan apa
saja yang melakukan transfer pricing?
Jawaban
:
Perusahaan
yang melakukan transfer pricing di Indonesia adalah semua perusahaan
multinasional, yaitu perusahaan yang melakukan transaksi bisnis berskala
internasional.