Selasa, 30 Juni 2015

akuntansi internasional



Akuntansi Internasional
Nama          : Bowo Mujur
Npm           : 211211529
Kelas          : 4eb04 

Pertanyaan :
1.      Sebelum krisis moneter pada tahun 1998 di Indonesia, sebuah perusahaan memiliki saham Rp 10.000.000 dengan nilai kurs U$ dolar 2300. Pada tahun 2015 perusahaan ingin menjual sahamnya dengan nilai kurs U$ dolar sebesar 12.000.
Apakah transaksi ini boleh ditranslasikan dengan nilai kurs tahun 2015?
Jawaban :
            Transaksi ini tidak boleh ditranslasikan dengan nilai kurs tahun 2015.
            Sesuai dengan PSAK no.10 tentang transaksi dalam mata uang asing disebutkan bahwa transaksi dalam mata uang asing harus dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi. PSAK mengacu pada The monetary-nonmonetary method,akun-akun non moneter (aktiva tetap, investasi jangka panjang dan persediaan) ditranslasikan dengan menggunakan kurs historis.
            Jadi, transaksi ini tetap ditranslasikan dengan nilai kurs historis pada saat transaksi terjadi yaitu sebesar Rp 2300


TRANSFER PRICING DALAM PERPAJAKAN"

A. MASALAH TRANSFER PRICING DALAM PERPAJAKAN
            Pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional yang berkembang pesat turut memacu perkembangan korporasi multinasional (multinational company). Kegiatan korporasi multinasional sebagai group-group perusahaan telah banyak ditemukan dalam negara berkembang, sehingga menjadi unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan konsep dan strategi yang lebih luas.
            Ada beberapa alasan utama yang mendorong munculnya korporasi multinasional, yaitu keinginan dan tujuan untuk memperluas pasar, untuk mencari sumber bahan baku, untuk mencari teknologi baru, untuk mencapai efisiensi, untuk menghindari peraturan atau kebijakan pemerintah, dan diversifikasi. Namun demikian, setidaknya kita bisa mengidentifikasikan adanya 3 (tiga) permasalahan yang dihadapi oleh korporasi multinasional, yaitu (i) perbedaan budaya (cultural differences), (ii) transfer pricing, dan
(iii) nilai tukar mata uang (exchange rate).
            Apakah yang dimaksud dengan transfer pricing itu? Transfer pricing (harga transfer) merupakan sebutan atau istilah yang umum digunakan untuk penentuan harga atas berbagai transaksi antar anggota group korporasi multinasional. Transfer pricing dapat ditentukan berbeda dengan harga wajar atau harga yang berlaku di pasaran bebas, namun dapat juga ditentukan lebih tinggi atau bahkan lebih rendah. Transfer pricing ini merupakan isu klasik dalam bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. John Neighbour menyatakan bahwa transfer pricing pada awalnya hanya merupakan isu utama bagi administrasi perpajakan dan ahli perpajakan saja, tetapi pada masa sekarang ini transfer pricing telah menjadi pembicaraan para politisi, ahli ekonomi dan juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat menyangkut kewajiban pembayaran pajak atas aktivitas bisnis korporasi multinasional.
            Survei yang dilakukan oleh Ernst and Young International pada tahun 1995 menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden mengindikasikan transfer pricing sebagai masalah utama dalam perpajakan yang dihadapi oleh korporasi multinasional. Responden tersebut terdiri dari korporasi multinasional di 8 (delapan) Negara termasuk Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Inggris.
            Sementara itu, penelitian tim UNTC PBB yang diketuai oleh Silvain Plasschaert yang dinyatakan kembali oleh Gunadi (1999), disebutkan bahwa motivasi transfer pricing di Indonesia terkait dengan beberapa hal antara lain:
1. Pengurangan objek pajak, terutama pajak penghasilan;
2. Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri;
3. Penurunan pengaruh depresiasi Rupiah;
4. Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor;
5. Mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha;
6. Mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan;
7. Memperkecil akibat pembatasan dan risiko bisnis di luar negeri.
            Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing dapat dipicu oleh alasan pajak (tax motive) ataupun alasan bukan pajak (non-tax motive). Beberapa transaksi yang terjadi antar anggota group korporasi multinasional dapat dikategorikan dalam beberapa transaksi, antara lain seperti penjualan barang dan jasa, lisensi, royalti, paten dan know-how, penjaminan utang, serta penjualan komponen untuk kegiatan produksi. Transaksi-transaksi yang terjadi antar unit bisnis group korporasi multinasional hampir selalu merupakan cross border transaction yang menyebabkan otoritas pajak menduganya sebagai salah satu bentuk pengalihan (shifting) beban pajak dari suatu Negara yang mempunyai tarif tinggi (high tax countries) ke Negara lainnya yang mempunyai tarif pajak lebih rendah (low tax countries).          
            Untuk menghindari praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh korporasi multinasional, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1983 memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk menentukan kembali harga wajar transaksi antar pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (associated enterprises/related parties) dan mewajibkan Wajib Pajak yang mempunyai transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa untuk membuat perjanjian dengan Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk Advance Pricing Agreement/APA (kesepakatan harga transfer) mengenai harga wajar produk dalam transaksi yang dilakukan antar mereka.
            Menurut sejumlah literatur, transfer pricing merupakan suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division). Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan. Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi karena adanya hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa. Hubungan istimewa ini dapat mengakibatkan kekurangwajaran pelaporan, sebagai akibat pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan biaya pada suatu transaksi dari suatu pihak ke pihak lainnya. Jadi secara umum transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa tersebut dikenal dengan transfer pricing. Transfer pricing sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antardivisi. Perusahaan multinasional cenderung merelokasi penghasilan globalnya pada low tax country dan menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada high tax country. Artinya, ada pergeseran kewajiban perpajakan dari Negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi ke Negara yang menerapkan pajak rendah. Disinilah terlihat praktik transfer pricing tersebut yang mengakibatkan potensi penerimaan suatu Negara khususnya yang berasal dari penerimaan pajak akan berkurang. Sementara dari sisi bisnis, perusahaan akan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya termasuk efisiensi dalam hal pembayaran pajak perusahaan. Bagi perusahaan multinasional, transfer pricing merupakan strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dengan sumber daya yang terbatas. Jika transfer pricing dilakukan antar perusahaan lokal (dalam negeri) maka hal ini tidak menjadi persoalan, karena pemerintah tetap akan memperoleh pajak dari salah satu perusahaan yang diuntungkan. Yang menjadi masalah adalah jika transfer pricing dilakukan oleh perusahaan asing dengan perusahaan lokal. Jika hal ini terjadi maka akan sangat berbahaya.
            Perusahaan lokal yang menjadi subsidiari dari perusahaan asing akan “dikorbankan”. Artinya, perusahaan lokal itu sengaja dibuat merugi, padahal sebenarnya perusahaan lokal tersebut sedang tidak merugi. Tujuannya tentu untuk menghindari pembayaran pajak oleh kedua perusahaan tersebut. Kasus ini sering terjadi pada industri batu bara. Jenis tambang itu merupakan incaran perusahaan tambang multinasional. Tidak jarang perusahaan asing yang mendekati perusahaan tambang batu bara lokal. Dari sinilah akan timbul negosiasi harga. Setelah itu yang terjadi justru praktik transfer pricing. Jika batu bara banyak dibeli oleh perusahaan asing, maka tidak mungkin perusahaan lokal itu akan merugi. Jika ada dua perusahaan yang berkonspirasi untuk merugikan suatu perusahaan, hal ini sudah pasti transfer pricing.
            Untuk mengatasi masalah mengenai transfer pricing ini, Departemen Keuangan harus memiliki auditor yang handal untuk menyelidiki keuangan suatu perusahaan. Untuk masalah batu bara, sebenarnya Indonesia memiliki Indonesia Coal Index (ICI). ICI dapat digunakan untuk mengukur kewajaran harga batu bara. ICI merupakan indeks harga batu bara yang dibuat di Indonesia melalui berbagai sumber. Maka sebenarnya tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk menghindar dari penyelidikan dugaan transfer pricing. Dengan melihat kasus Adaro, Negara diperkirakan rugi triliunan Rupiah akibat hal ini. Negara kehilangan pajak penghasilan yang seharusnya disetor oleh Adaro. Negara tidak memperoleh PPh 30% dan royalty 13,5%. Padahal untuk setiap USD 10 selisih harga dalam praktik transfer pricing, tiap tahun kerugian Negara dapat mencapai Rp. 400 miliar.
            Saat ini transfer pricing diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. Dalam Pasal 18 ayat (3) diatur mengenai kewenangan Ditjen Pajak untuk menghitung kembali suatu transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa.  Dalam Pasal 18 ayat (3) (a) diatur bahwa “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir”. Penjelasan pasal ini juga menyatakan bahwa “kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengan Wajib Pajak tersebut”.
            Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalty, dan lain-lain yang tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi terhadap harga jual dan keuntungan produk yang dijual oleh wajib pajak kepada perusahaan dalam suatu group yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan wajib pajak. APA dapat juga bersifat bilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan Negara lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
            Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan hubungan istimewa dan penanganan transfer pricing harus memenuhi kedua unsur, yaitu adanya kewenangan Direktorat Jenderal Pajak serta memenuhi definisi hubungan istimewa. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh mengatur hubungan istimewa dianggap ada apabila:
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain;
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah pengusaan yang sama baik secara langsung ataupun tidak langsung; atau
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
            Pengungkapan kasus transfer pricing saat ini sedang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Beberapa perusahaan yang dijadikan contoh antara lain adalah PT Adaro, PT Arutmin, PT Kaltim, Asian Agri dan lain-lain. Bahkan Asian Agri sudah dilanjutkan ke penyidikan, karena diduga terlibat tindak pidana perpajakan. Sehubungan dengan penyidikan tersebut dapat dipertanyakan apakah praktik transfer pricing merupakan suatu upaya penghindaran pajak untuk mencari penghematan pajak secara legal atau sudah merupakan penggelapan pajak untuk meminimalisir pajak secara ilegal.
            Sebagai contoh praktik transfer pricing, jika PT A mengekspor produk dengan harga pokok dan biaya lainnya US$100 ke XY di Negara PQ dengan harga US$200, atas laba US$100 dibayar PPh di Indonesia sebesar US$30. Namun jika dijual ke perusahaan afiliasi SQ di Singapura dengan harga transfer pricing sebesar US$120 dan kemudian SQ menjual kepada XY dengan harga US$200. Maka, atas laba PT A sebesar US$20 dan QS sebesar US$80 akan dibayar pajak sejumlah US$22 (di Indonesia US$6, dan di Singapura US$16). Dengan chanelling ke Singapura, dari laba global US$100 sudah didapat penghematan pajak sebesar US$8. Kalau SQ menjual ke perusahaan afiliasinya HK di HongKong (yang mengenakan pajak korporasi sebesar US$16) dengan harga US$150, maka atas laba di Indonesia US$20, di Singapura US$30 dan di HongKong US$50 akan dibayar PPh sebesar US$20 (PT A membayar US$6, SQ membayar US$6, dan HK membayar US$8). Dengan tiga tahap penjualan ini, terdapat penghematan pajak sebesar US$10. Jadi, semakin rendah tarif pajak Negara tempat kedudukan perusahaan trading afiliasi yang dimanfaatkan dalam mata rantai perdagangan, semakin besar pula penghematan pajak dari praktik transfer pricing ini. Dalam buku Multinational Corporations, Transfer Prices and Taxes: Evidences from US Petroleum Industry (1990), Bernard & Weiner menyatakan bahwa, kecuali dilarang dalam undang-undang, transfer pricing dapat digunakan untuk mengatur jumlah laba dari beberapa perusahaan dalam satu group yang berada di beberapa wilayah yurisdiksi perpajakan. Hal ini menunjukan secara hukum, jika tidak dinyatakan secara tegas dalam undang-undang bahwa transfer pricing merupakan tindak pidana pajak, maka menjadi sulit untuk “mengkriminalkan” praktik transfer pricing. Pendapat ini sepertinya didukung oleh adanya penghentian penyelidikan PT Adaro yang menurut Media Indonesia (12 February 2008) dihentikan karena tidak ada masalah dan royalty serta “semuanya” telah dibayar. Maka tampak bahwa atas transfer pricing lebih ditempuh solusi administratif daripada pidana. Solusi ini juga dianut oleh Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang PPh jo. SE 04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus- Kasus Transfer Pricing. Dari Surat Edaran ini dapat dikemukakan bahwa transfer pricing dapat terjadi antara wajib pajak dalam negeri atau antara wajib pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di tax haven countries (Negara yang tidak memungut pajak atau yang memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antara wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa, undang-undang perpajakan Indonesia menganut asas materiil (substance over form rule).

B. ASPEK PERPAJAKAN DALAM PRAKTIK TRANSFER PRICING
1. Metode Transfer Pricing
            Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi adalah sebagai berikut:
a. Harga transfer dasar biaya (cost based transfer pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode transfer ini menetapkan harga transfer atas biaya variabel dan tetap, yang bisa dalam 3 (tiga) pemilihan bentuk, yaitu biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup), dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
b. Harga transfer atas dasar harga pasar (market basis transfer pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode ini merupakan ukuran yang paling memadai, karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam menggunakan metode transfer pricing ini.
c. Harga transfer negosiasi (negotiated transfer prices)
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasi mencerminkan perspektif kontrol abilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban, karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya akan bertanggungjawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.

2. Transfer Pricing Pada Perusahaan Multinasional
            Ada dua tujuan transfer pricing yang ingin dicapai oleh perusahaan multinasional, yaitu:
a. Performance evaluation
Salah satu ukuran yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk menilai kinerjanya adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau return on investment. Terkadang tingkat ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya dalam satu perusahaan yang sama berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, divisi penjual menginginkan harga transfer yang tinggi yang akan meningkatkan income, yang secara otomatis juga akan meningkatkan ROI-nya. Namun di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang nantinya berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga peningkatan dalam ROI. Oleh karena itu dalam hal ini induk perusahaan akan sangat berkepentingan dalam penentuan harga transfer.
b. Optimal determination of taxes
Tarif pajak antar satu Negara dengan Negara yang lain berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang berlaku dalam Negara tersebut. Sebagai contoh di Afrika, karena tingkat investasi rendah, tarif pajak yang berlaku di Negara itu juga rendah. Akan tetapi jika kita bandingkan dengan Amerika, tidak mungkin tarif pajak yang diberlakukan di Negara tersebut sama dengan di Afrika. Hal ini jelas karena di Negara maju seperti Amerika tingkat investasi sangat tinggi yang dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar inilah tarif pajak yang ditetapkan di Negara tersebut tinggi.
3. Transfer Pricing Atas Royalti
            Perkembangan ekonomi global dan adanya persaingan internasional membuat suatu perusahaan harus melakukan berbagai upaya untuk menguasai pasar dan mendekatkan diri dengan konsumen yang berada di berbagai Negara. Perkembangan tersebut mengakibatkan banyak perusahaan di berbagai Negara mengubah konsep bisnisnya menjadi perusahaan multinasional. Dalam konsep perusahaan multinasional ini, kontrol yang dimiliki oleh perusahaan induk terhadap anak perusahaan di berbagai Negara seringkali menyebabkan terjadinya transaksi internasional, yaitu transfer pricing. Transaksi transfer pricing dapat berupa transfer harga atas barang, jasa dan harta tidak berwujud. Transaksi antar perusahaan yang memiliki hubungan istimewa seringkali menimbulkan ketidakwajaran harga transfer. Hal ini dilakukan sebagai upaya memonopoli pasar global sebagai strategi bisnis ataupun untuk mengurangi total beban pajak global yang harus ditanggung perusahaan akibat transaksi lintas Negara.
            Otoritas pajak di banyak Negara menggunakan metode perbandingan harga untuk menentukan harga transfer yang wajar dalam perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Hal ini terutama untuk mengurangi potential loss pada penerimaan pajak yang diperoleh, hanya saja dalam praktiknya terjadi banyak permasalahan yang muncul atas perbandingan harga. Salah satu permasalahan yang timbul adalah sulitnya mencari perusahaan pembanding. Kesulitan menjadi bertambah ketika harga yang diperbandingkan adalah harga atas transfer royalti. Seringkali harta yang tidak berwujud tidak mempunyai karakteristik yang sama atau identik di setiap produsen dan dimungkinkan adanya perbedaan biaya untuk menghasilkan royalti tersebut. Karakteristik yang berbeda-beda dari harga royalti dapat mengakibatkan kesalahan dalam penentuan koreksi harga yang dilakukan oleh otoritas pajak, yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi wajib pajak ataupun otoritas pajak di suatu Negara. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang timbul, maka penting dilakukan pengaturan yang baik dalam Undang Undang Perpajakan untuk memberikan kepastian hukum atas transaksi transfer pricing royalti ataupun untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan dalam memeriksa dan mencari harga pasar wajar pembanding atas royalti.
            Indonesia sendiri saat ini belum mengatur secara pasti atau khusus atas transaksi transfer pricing. Peraturan perundang-undangan yang ada hanya mengatur mengenai hubungan istimewa dan penentuan harga pasar wajar apabila terjadi transaksi yang di dalamnya terindikasi ada hubungan istimewa, tanpa mengatur secara rinci pencegahan atau penyelesaian yang dapat digunakan untuk transfer pricing atas

Pertanyaan :
Perusahaan apa saja yang melakukan transfer pricing?
Jawaban :
Perusahaan yang melakukan transfer pricing di Indonesia adalah semua perusahaan multinasional, yaitu perusahaan yang melakukan transaksi bisnis berskala internasional.